Cendana360.com – Sarwo Edhie Wibowo merupakan tokoh nasional yang berasal dari Purworejo, Jawa Tengah. Sarwo Edhie berperan dalam penumpasan G30S pada 1965/1966, yang menewaskan tiga juta korban jiwa di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Sarwo Edhie tercatat sebagai tokoh nasional karena perannya pada 1965/1966. Pada era Orde Baru, ia sempat menjadi Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan di Seoul. Sarwo Edhie adalah ayah dari Ani Yudhoyono yang merupakan istri mantan presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.
Kehidupan awal Sarwo Edhie Wibowo lahir pada 25 Juli 1927 di Desa Pangenjuru, Purworejo. Ia merupakan anak dari pasangan Raden Kartowilogo dan Raden Ayu Sutini. Keluarga orangtua Sarwo Edhie merupakan pegawai dari pemerintah kolonial Belanda. Mulanya, Sarwo Edhie hanya diberi nama Edhie, namun karena sering sakit-sakitan, namanya ditambah Sarwo.
Sejak kecil, Edhie sangat suka belajar silat sebagai bentuk pertahanan diri. Selain itu, ketika ia mulai tumbuh dewasa, Edhie mulai kagum dengan tentara Jepang. Ketika Jepang menguasai Indonesia, pada 1942, Sarwo Edhie pergi ke Surabaya untuk mendaftar sebagai prajurit Pembela Tanah Air (PETA). Namun, setelah kemerdekaan Indonesia, Sarwo Edhie kemudian bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Karier Sarwo Edhie Setelah itu, Sarwo Edhie diangkat menjadi Komandan Batalion di Divisi Diponegoro (1945—1951). Sarwo Edhie kemudian ditunjuk sebagai Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951—1953). Selanjutnya, ia ditunjuk menjadi Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional (1959—1961).
Pada 1962 hingga 1964, Sarwo Edhie ditunjuk menjadi Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (RPKAD). Pada 1964 hingga 1967, Sarwo Edhie kemudian ditunjuk sebagai Komandan RPKAD. Sarwo Edhie diangkat menjadi komandan RPKAD oleh Ahmad Yani yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Ketika ia menjabat sebagai komandan RPKAD, pecah peristiwa G30S pada 1965. Sarwo Edhie saat itu berpihak kepada Soeharto dan ingin menumpas orang-orang yang dituding sebagai pembunuh enam jenderal dan satu perwira. Salah satu korban G30S adalah Ahmad Yani, seorang teman seperjuangan dan berasal dari daerah yang sama dengan Sarwo Edhie.
Soeharto kemudian menunjuk Sarwo Edhie sebagai penanggung jawab untuk memulihkan keadaan pascapecahnya G30S. Manurut laporan Sarwo Edhie, operasi penumpasan PKI yang dilakukannya memakan hingga tiga juta korban jiwa di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Era Orde Baru Setelah rezim Orde Lama mulai melemah dan digantikan Orde Baru, Soeharto yang menjadi presiden kemudian mengangkat Sarwo Edhie sebagai Panglima Kodam II/Bukit Barisan di Sumatera.
Sarwo Edhie berusaha melemahkan kekuasaan Soekarno dengan menggembosi kekuatan Partai Nasional Indonesia (PNI). Kemudian, pada 1970-an, Sarwo Edhie ditunjuk Soeharto sebagai Gubernur Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) di Magelang. Setelah itu, pada 1974, Sarwo Edhie ditunjuk untuk menjadi duta besar Indonesia untuk Korea Selatan di Seoul hingga 1976.
Setelah itu, karier Sarwo Edhie perlahan tenggelam hingga akhirnya ia meninggal dunia pada 9 november 1989. Sarwo Edhie kemudian dimakamkan di Kampung Ngupasan, Kelurahan Pangenjurutengah, Purworejo, Jawa Tengah.
https://www.kompas.com/stori/read/2022/07/29/090000279/biografi-sarwo-edhie-wibowo–tokoh-yang-berperan-dalam-penumpasan-g30s?lgn_method=google&google_btn=onetap